Pada 3 Juni 2011, tepat setahun Tengku Hasan Tiro meninggal dunia. Ia ikon perlawanan sekaligus perdamaian Aceh. Terlepas dari benar tidaknya yang diperjuangkan, ia adalah putra Aceh yang melegenda. Meninggal dalam usia 84 tahun, ia tidak hanya dikenal kalangan tua, tapi juga generasi muda.
Jangan lupakan sejarah. Itulah pesan Tengku Hasan Tiro ketika pulang ke Aceh pada Oktober 2008. Jauh sebelumnya, pesan serupa juga bergema dalam dinginnya musim salju di Stockholm, juga dalam terik matahari di kamp pelatihan militer Tajura, Tripoli, Libya. Di kedua tempat itu, Hasan pernah menghabiskan sebagian usianya.
Bagi Hasan Tiro, sejarah adalah warisan pendahulu yang wajib dipelajari dan diamalkan. Tak heran, gemilang Aceh masa silam pula yang merasuki dirinya sehingga mempelopori sebuah gerakan pembebasan.
“Sejarah kita seperti buku bank. Dari sana kita tahu berapa harga pusaka yang ditinggalkan nenek moyang kita,” ujarnya saat membahani sejumlah anak muda Aceh di Libya dalam satu sesi yang disebutnya Pendidikan Aceh.
Bagi Aceh, Hasan Tiro adalah sejarah itu sendiri. Ia melalui, bahkan menciptakan tahapan-tahapan sejarah Aceh paska Indonesia merdeka: dari zaman Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Gerakan pembebasan yang dipeloporinya membawa pengaruh besar bagi Aceh. Menggelorakan semangat perlawanan di usia muda, ia memutuskan berdamai di usia senja. Dalam rentang 30 tahun perjuangan, ia keliling dunia dengan membawa bendera pembebasan Aceh. Sampai pada suatu ketika, mata dunia pun tertuju ke Aceh.
Hasilnya, Aceh kini menikmati masa-masa pelimpahan wewenang yang cukup besar untuk mengatur diri sendiri lewat Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani di Helsinki pada 2005 lalu. Dari perjanjian inilah lahir Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang menyepakati pembagian hasil migas 70 : 30 persen bagi Aceh.
Memang, seperti ditulis dalam Price of Freedom, salah satu bukunya yang termasyur itu, selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapai sebuah tujuan. Lelaki yang teguh hati itu mengorbankan diri dan keluarganya untuk membentuk apa yang disebutnya nasionalisme Aceh. Bahkan, ketika menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, ia pergi dalam sunyi: tanpa didampingi istri dan anak satu-satunya Karim Tiro. Hampir dalam setiap kesempatan, ia menanamkan rasa cinta mendalam kepada Aceh lewat sejarah-sejarah perjuangan masa lalu. Dari sanalah, ia memperkenalkan jati diri Aceh
Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, Belanda menyebut Hasan Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Jangan lupakan sejarah. Itulah pesan Tengku Hasan Tiro ketika pulang ke Aceh pada Oktober 2008. Jauh sebelumnya, pesan serupa juga bergema dalam dinginnya musim salju di Stockholm, juga dalam terik matahari di kamp pelatihan militer Tajura, Tripoli, Libya. Di kedua tempat itu, Hasan pernah menghabiskan sebagian usianya.
Bagi Hasan Tiro, sejarah adalah warisan pendahulu yang wajib dipelajari dan diamalkan. Tak heran, gemilang Aceh masa silam pula yang merasuki dirinya sehingga mempelopori sebuah gerakan pembebasan.
“Sejarah kita seperti buku bank. Dari sana kita tahu berapa harga pusaka yang ditinggalkan nenek moyang kita,” ujarnya saat membahani sejumlah anak muda Aceh di Libya dalam satu sesi yang disebutnya Pendidikan Aceh.
Bagi Aceh, Hasan Tiro adalah sejarah itu sendiri. Ia melalui, bahkan menciptakan tahapan-tahapan sejarah Aceh paska Indonesia merdeka: dari zaman Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono.
Gerakan pembebasan yang dipeloporinya membawa pengaruh besar bagi Aceh. Menggelorakan semangat perlawanan di usia muda, ia memutuskan berdamai di usia senja. Dalam rentang 30 tahun perjuangan, ia keliling dunia dengan membawa bendera pembebasan Aceh. Sampai pada suatu ketika, mata dunia pun tertuju ke Aceh.
Hasilnya, Aceh kini menikmati masa-masa pelimpahan wewenang yang cukup besar untuk mengatur diri sendiri lewat Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani di Helsinki pada 2005 lalu. Dari perjanjian inilah lahir Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang menyepakati pembagian hasil migas 70 : 30 persen bagi Aceh.
Memang, seperti ditulis dalam Price of Freedom, salah satu bukunya yang termasyur itu, selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapai sebuah tujuan. Lelaki yang teguh hati itu mengorbankan diri dan keluarganya untuk membentuk apa yang disebutnya nasionalisme Aceh. Bahkan, ketika menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, ia pergi dalam sunyi: tanpa didampingi istri dan anak satu-satunya Karim Tiro. Hampir dalam setiap kesempatan, ia menanamkan rasa cinta mendalam kepada Aceh lewat sejarah-sejarah perjuangan masa lalu. Dari sanalah, ia memperkenalkan jati diri Aceh
Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, Belanda menyebut Hasan Tiro disebut sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Hasan Tiro adalah pahlawan Aceh kontemporer. Muncul dari keluarga pejuang Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, Hasan mengenyam pendidikan tinggi hingga ke Amerika Serikat, berkecukupan secara ekonomi dan memiliki relasi luas di luar negeri.
Memperingati setahun berpulangnya Hasan Tiro, kami memutuskan mengangkat cerita tentang kisah hidup pendiri Gerakan Aceh Merdeka ini. Namun, tentu saja kami tak ingin hanya sekedar mengulang cerita yang telah diulas di banyak media.
Itu sebabnya, kami menggali sisi lain seorang mahaguru yang telah mengorban lebih separuh usianya untuk memperkenalkan Aceh bak mata donya. Kami mengumpulkan fragmen-fragmen dari kehidupan sang penabur semangat. Mulai dari bagaimana ia melewati hari-harinya, hingga kisah-kisah ringan dari orang-orang di sekelilingnya. Dengan kata lain, kami ingin menulis sisi manusia seorang lelaki bernama Hasan Tiro.
Hasan Tiro tidak mewariskan harta yang melimpah, tetapi ia meninggalkan pelajaran berharga tentang makna harga diri dan marwah sebuah daerah bernama Aceh.
Menulis Hasan Tiro, adalah merekam jejak sejarah perjuangan Aceh.
MAHAGURU DAN SEBILAH RENCONG
Merekam cara 'Wali Nanggroe' menggembleng orang-orang di sekelilingnya. Hanya anak kecil yang mampu meredam amarahnya. Inilah sisi manusia Hasan Tiro.
Pagi-pagi Muzakir Abdul Hamid sudah rapi. Hari itu staf khusus 'Wali Nanggroe' Hasan Tiro ini mendapat tugas penting: menjemput Kuntoro Mangkusubroto, mantan Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Bergegas Muzakir memacu mobil menuju sebuah hotel yang berjarak 15 kilometer dari rumahnya.
Tiba di sana, Kuntoro sudah menunggu. Ia didampingi Sekretaris BRR Teuku Kamaruzzaman dan Deputi Keuangan Amin Surbekti. Tak membuang waktu, mereka langsung bergerak menuju Apartemen Alby Blok 11 Norsborg, Stockholm, Swedia. Di sinilah Hasan Tiro menetap selama lebih dua puluh tahun. Selain Wali Nanggroe, di sana telah menunggu Meuntroe Malek dan dr. Zaini Abdullah.
Hari itu, pertengahan Mei 2007, Kuntoro datang ke Swedia dalam rangka lawatan ke Eropa untuk menemui sejumlah pimpinan negara donor yang telah menyumbang bantuan untuk Aceh pascatsunami. Rupanya, di sela-sela lawatannya, pria yang kini menjabat Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan itu merasa perlu menjenguk Wali Nanggroe.
Awalnya, Kuntoro sempat ragu apakah mungkin Tengku Hasan bersedia menerima dirinya. Apalagi, Wali dikenal belum pernah bersedia menerima perwakilan pemerintah untuk bertemu dengannya. Kekhawatirannya bertambah mengingat dirinya orang Jawa tulen. Namun, kekhawatiran itu tak terbukti. Dia disambut hangat.
Pertemuan itu tak terjadi begitu saja. Sebelum berangkat, Kuntoro bertemu Malik Mahmud. Pertemuan pun dirancang. Di depan Kuntoro, Malik menelpon Hasan Tiro. Dari seberang, Hasan Tiro setuju bertemu. "Silahkan ke sana Pak Kun, silahkan ke sana," ujar Malik seperti ditulis dalam buku laporan BRR berjudul: ”Story: Feat of the Daunting Launch.”
Ditemani secangkir kopi susu panas dan kue apel koka khas Swedia, mereka larut dalam obrolan hangat. Seperti kepada setiap tamu lain yang datang, Wali bercerita tentang sejarah perjuangan Aceh. Perbincangan berlangsung dalam bahasa Inggris. Kuntoro lalu menggelar peta Aceh yang sengaja dipersiapkan sejak berangkat dari Banda Aceh. Dalam buku Story: Feat of the Daunting Launch, Kuntoro menggambarkan pertemuan itu penuh antusias.
“Apa ini?,” tanya Hasan Tiro sambil menunjuk daerah yang diberi warna berbeda di atas peta.
“Itu adalah kawasan yang terkena bencana tsunami. Kami sedang membangun rumah dan jalan di kawasan yang rusak ini.,” jawab Kuntoro.
“Kalau ini apa?,” tanya Wali menunjuk ke lokasi yang diberi warna lain.
“Itu peta pertambangan dan sumber daya alam Aceh. Peta I dan Peta II adalah tentang pertambangan. Peta III tentang pertumbuhan dan persebaran penduduk. Satu lagi peta infrastruktur yang sedang kita bangun,” jawab Kuntoro.
“Good, very good. Aceh harus dibangun lebih baik, tanpa merusak sumberdaya alam,” pesan Wali.
Tak terasa, satu jam berlalu. Pertemuan berakhir. Kuntoro pamit sembari tak lupa menitipkan pesan agar Wali menjaga kesehatan.
Yang membuat Kuntoro tersentak, ia seolah tak percaya ketika Wali mengantarnya hingga ke depan eskalator sambil melambaikan tangan. Ketika Kuntoro menghilang dari pandangan, barulah Hasan Tiro kembali ke ruangannya.
Sejatinya, itu adalah pertemuan rahasia. Pertemuan disepakati tanpa sesi pemotretan dan tanpa bicara ke media massa. Ketika ditanya sejumlah wartawan di Banda Aceh sekembali dari Swedia, Kuntoro tetap merahasiakan pertemuan itu. Di akhir jabatannya sebagai Ketua BRR barulah kisah itu dimasukkan dalam satu bagian buku laporan BRR.
Namun, rupanya Kuntoro tak dapat menahan diri untuk tak menceritakan pertemuan bersejarah itu kepada sejumlah stafnya. “Terlepas dari keyakinan politiknya, saya sangat hormat kepada Hasan Tiro. Beliau orang yang teguh pendirian dan konsisten memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran,” ujar Kuntoro di Banda Aceh kepada sejumlah staf di BRR, sekembalinya dari Swedia.
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Radjiun, Ka Neuwo Bak Po-Teuh Allah SWT, Paduka Njang Mulia Wali Neugara Atjeh, Teungku Hasan Muhammad di Tiro, di Kutaradja, 3 Djuni 2010.
Tulisan itu tertera di sepotong spanduk yang dipajang pada sebuah panggung sederhana di komplek Makam Pahlawan Nasional Teungku Chik di Tiro di desa Meureue, Kecamatan Indrapuri Aceh Besar. Terletak di sisi kiri panggung, Tengku Hasan Tiro dimakamkan berdampingan dengan Teungku Chik di Tiro, ulama dan tokoh perjuangan Aceh yang diberi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah.
Bendera Partai Aceh berkibar-kibar di sepanjang jalan hingga ke komplek makam. Hari itu, 2 Juni 2011, Partai Aceh dan KPA memperingati setahun wafatnya Wali Nanggroe Hasan Tiro. Hadir di sana Pemangku Wali Nanggroe Malik Mahmud, mantan menteri luar negeri GAM dr.Zaini Abdullah, mantan Mentroe Prang Zakaria Saman dan mantan Panglima Tentara GAM Muzakir Manaf.
Berjarak sekitar lima kilometer dari jalan raya Medan-Banda Aceh, makam itu dipenuhi pengunjung yang datang dari berbagai daerah di Aceh. Barisan kendaraan memanjang hingga satu kilometer dari makam.
Usai doa bersama di kuburan, Muzakir Manaf yang kini menjabat ketua Umum Partai Aceh sekaligus Ketua KPA adalah orang pertama yang naik panggung menyampaikan kesan. “Beliau telah membuka mata orang Aceh untuk
Tak lupa Muzakir menyinggung kondisi politik terkini yang menurutnya makin hari kian memanas. Padahal, kata Muzakir, pada tahun 2005 lalu, Wali Nanggroe telah meninggalkan sebuah perjanjian damai dengan pemerintah Indonesia sebagai satu-satunya konsep untuk memajukan Aceh di masa yang akan datang.
“Kitalah yang menentukan, apakah akan sanggup mengemban amanah beliau atau tidak. Kitalah yang bertanggungjawab untuk memajukan bangsa Aceh. Dan itu berada di pundak Partai Aceh," ujar Muzakir.
Setelah Muzakir turun panggung, giliran dr.Zaini Abdullah menyampaikan kenangannya bersama almarhum. Pria yang akrab disapa Doto Zaini ini bisa dibilang selalu di bersama Hasan Tiro dalam setiap tahapan pegerakan: sejak mendeklarasikan pergerakan kemerdekaan di Gunung Halimun pada 1976, menetap di Swedia, hingga ajal menjemputnya di Banda Aceh tahun lalu.
Bagi Zaini, Hasan Tiro adalah seorang guru yang tak hanya membuka wawasannya tentang sejarah Aceh, tetapi juga mengajarinya tentang filosofi hidup. “Saya bersama beliau sejak awal hingga akhir. Wali mencontohkan bagaimana cara hidup. Tahu kapan mengatakan tidak, dan tidak takut dalam bertindak.”
Tak hanya itu, bagi Doto Zaini, Hasan Tiro juga mengajarkan hal-hal kecil yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Mulai dari cara berpakaian, cara makan, hingga etika pergaulan dengan dunia luar. “Dari jaman kesultanan, kita sudah menjadi sebuah bangsa yang besar. Tapi sekarang kita sudah tidak mengenal jati diri. Padahal dengan pendidikan, kita tahu kapan kita berdamai dan kapan kita harus berperang. Damai yang sudah ada sekarang mesti kita pelihara. Ini amanah wali yang mesti kita jalankan,” ujarnya.
Teungku Malik Mahmud yang tampil kemudian memutar ingatan ke masa puluhan tahun silam, tepatnya pada 1964. Hubungannya dengan Hasan Tiro bermula lewat surat menyurat. Ayahnya yang ketika itu berperan sebagai penghubung pejuang Aceh di Singapura, sering melakukan surat-menyurat dengan Hasan Tiro yang bermukim di Amerika Serikat.
Suatu hari, Hasan Tiro mendarat di Singapura. Keluarga Malik mengundangnya untuk makan siang di rumah. Tiba di sana sekitar pukul 11.00 siang, Hasan Tiro langsung dipersilahkan duduk. Bukannya langsung duduk, Tengku Hasan malah menanyakan adik dan ibunya. Ketika diberitahu mereka sedang menyiapkan masakan di dapur, Teungku Hasan langsung menghampirinya. Usai bersalaman, terjadilah dialog seperti ini.
“ Sedang memasak apa, kok aromanya wangi sekali,” tanya Tengku Hasan.
“Gulai ayam dengan rebung kala, masakan Aceh Rayeuk,” jawab Ibu.
Tengku Hasan langsung membuka penutup beulangong (wajan). Aroma rebung kala memenuhi ruangan.
“Sudah lama sekali saya merindukan masakan ini,” ujar Hasan Tiro dengan wajah berseri.
Pertemuan itu rupanya begitu membekas di benak Mentroe Malek, hingga sampai pada kesimpulan Hasan Tiro adalah seorang pemikir yang cerdas, bersahaja dan pintar bergaul dengan masyarakat biasa. Begitu pula sebaliknya, Mentroe Malik pun mendapatkan tempat khusus di hati Wali Nanggroe.
Kekaguman Mentroe Malik kian bertambah setelah bergabung bersama Hasan dalam pergerakan. Tak jarang Malik ikut menyaksikan bagaimana Hasan Tiro memperkenalkan Aceh kepada bangsa-bangsa lain di Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah hingga ke Afrika. Kepada Mentroe Malek, Tengku Hasan selalu mengingatkan bahwa Aceh adalah sebuah bangsa besar sejak dahulu.
“Ini satu pendidikan yang saya dapatkan dari beliau dan bhttp://www.blogger.com/img/blank.gifagi saya jarang mendapat pendidikan yang seperti ini langsung dari seorang pemimpin yang sangat dihormati. Kami diajarkan ilmu politik, diplomasi internasional, juga strategi perjuangan supaya kita bisa menjadi pemimpin suatu bangsa yang besar seperti Aceh,” ujar Malik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar